Bittersweet- Gagas Media Book Review




Awalnya aku pikir buku ini akan menceritakan tentang seseorang yang di hadapkan dengan dua orang yang saling sama-sam mencintai dirinya tetapi pada akhirnya dia harus memilih dan merasakan pahitnya cinta itu sendiri. Tenyata engga sama sekali.

Novel berjudul Bittersweet Love karya duet Netty Virgiantini dan Aditia Yudis ini dibuka dengan kisah seorang bernama Nawang. Seorang gadis kelas 3 SMA yang harus menerima kenyataan dari kejadian perceraian kedua orangtuanya yang sekarang memiliki keluarga baru dari kehidupan baru mereka. Dari sosok Nawang aku seakan-akan melihat cermin diri aku sendiri. Ya walaupun ini cerita fiksi tapi pemain utama dalam novel ini terasa sangat hidup.

Nawang adalah sosok yang tidak pernah mau menerima keputusan dari Ayahnya yang menikah lagi dengan ibunya Nefin. Sedangkan Nefin adalah siswa dari SMA yang selalu menjadi lawan tawuran sekolahnya. Juga harus dihadapkan dengan ibunya yang menikah kembali dengan laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya pada masa sekolah dulu, ayahnya Joanna. Sosok Joanna atau Jo dimata nawang adalah sosok yang selalu di prioritaskan oleh ibunya.

Ada kecemburuan, kekecewaan atas semua yang telah terjadi, semua pilihan yang dia sesali dari sebuah cerita keluarga bahagia yang dia jalani dulunya. Aku dan Nawang punya banyak kesamaan. Kami sama-sama perempuan yang sok kuat dan berani, bersahabatkan banyak laki-laki dan benar-benar selalu tidak bisa mengurangi kecepatan bermotor di jalan di saat emosi sedang memuncak. Perempuan yang selalu mengandalkan seseorang untuk selalu bisa menjaga diri kita dengan baik, dalam hal ini Nawang selalu dijaga oleh Artan walaupun pada akhirnya Artan lah yang kemudian meninggalkan luka berbekas di hati Nawang.

Aku dan Nawang juga menyimpan kekecewaan dan selalu berharap bahwa keadaan akan kembali seperti dulu, dimana kita masih bisa merasakan dengan jelas kebahagiaan itu dan belum siap untuk menghadapi perubahan ini. Tapi di satu sisi walaupun merasa memiliki kesamaan karakter dengan Nawang aku lebih cocok merasakan hal yang dirasakan dan dipikirkan oleh Joanna.

Joanna, sosok anak yang kehilangan sosok ibu karena sakit yang dideritanya. Masih tidak terima dengan keputusan ayahnya menikahi ibunya Nawang. Baginya ibunya tak terganti dan tak akan pernah rela posisi ibunya digantikan oleh siapapun. Tak pernah ada protes atau rasa kecewa yang terucap oleh bibir Jo selama ini kepada Ayahnya. Mereka berdua berkomunikasi dalam diam, mencoba mengerti tetapi tidak pernah ada kesempatan untuk mendengar dan didengarkan.

Aku bisa merasakan dengan jelas apa yang dirasakan Jo. Rasa kehilangan yang begitu dalam, rasa ingin pulang kepelukan Ayahku dan berfikir bahwa semua kesedihan ini tidak akan pernah ada seandainya Ayah masih ada. Tapi diantara aku dan ibuku tidak pernah ada kesempatan mendengar dan didengarkan. Kami mencoba mencari celah untuk tidak bicara namu melakukan aksi protes dengan jiwa kami sendiri. Aku yang tidak bisa mengerti ibuku dan ibuku yang tidak puas dengan perlakuanku.

Tetapi Jo punya abang, saudara sepupu yang amat sangat dia cintai. Sosok yang selalu ikhlas mendengarkan setiap kata protes yang terucap, air mata yang meluncur jatuh dari matanya, setiap keluhan dalam detik hidupnya dan setiap rengekan Jo agar dia selalu menjadi malaikat pelindung, satu-satunya alasan Jo untuk bisa tersenyum.

Beda dengan Jo yang selalu punya abang yang siap dengan semua keluhan Jo. Ya mungkin aku punya pacar, sosok lelaki yang mungkin akan menjadi calon suamiku nanti. Tetapi dia bukan abang, terkadang keluhanku terdengar seperti gesekan biola parau yang memekakkan telinganya. Kadang aku memilih untuk lebih baik diam dan menghindar seperti Nawang. Tak pernah ada dirumah selalu mencari rumah lain yang bisa memberikan kebahagiaan walaupun sebentar.

Satu pesan yang jelas tertangkap dari novel ini. Bahwa kita harus memberikan waktu kepada bicara untuk mendengarkan dan menyeidkan kesempatan untuk didengarkan. Masing-masing dari Nawang dan Jo melakukan pergulatan dalam benak yang kemudian hanya akan menyakiti hati sendiri tanpa bisa tersampaikan dengan semua orang yang dituju. Nawang dan Jo sama-sama melukai semua orang dalam diam, merasa kuat menanggung semua beban itu dalam benak mereka, tak tau kemana harus mengadu untuk didengarkan.

Semua tidak akan serumit ini seandainya mereka mau merendahkan diri, memberikan satu sama lain untuk bicara dan mendengarkan dengan hati. Mungkin mereka akan sadar akan rasa yang sama-sama mereka rasakan, kekecewaan, kesedihan, kehampaan dan kegalauan yang ada di hati dan benak mereka.

Walaupun hanya setumpuk kertas penuh fiksi, dalam kehidupan nyatanya masih banyak orang yang merasakan hal yang sama dan mungkin belum pernah bisa mendapatkan solusinya untuk bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...