doc. Google |
Semakin
dekat dengan due date entah kenapa semakin banyak pikiran-pikiran yang
mengganggu. Salah satunya masalah yang paling vital untuk di pikirkan yaitu
soal masa depan.
Setelah
ini masa depanku mau dibawa kemana?
Pertanyaan
itu terus terngiang-ngiang di kepala pagi, siang, malam tanpa ditemukan
jawabannya. I’m a planner. Pusing rasanya hidup tanpa plan sedangkan aku orang
yang sangat stick to the plan. Apa daya gak semua hal dalam hidup bisa di
masukkan dalam plan yang pas. Buruknya lagi saat ini aku belum punya plan
cadangan apapun menghadapi situasi seperti ini.
Dulu
menyelesaikan skripsi adalah satu-satunya goal terbesar yang harus
diselesaikan. Ya apa lagi yang mau dicari disaat kamu adalah mahasiswa semester
akhir dengan segudang pengalaman, segudang sertifikat, punya kerjaan tetap dan
kesibukan yang cukup menyita waktu dan all you have to do satu-satunya adalah
menyelesaikan skripsi.
Apalagi
waktu itu skripsi yang aku tulis termasuk mudah dalam proses penyelesaiannya.
Cuma butuh waktu beberapa jam didepan komputer dan masih bisa santai-santai.
Beda dengan mahasiswa tingkat akhir lain yang kesulitan nyelesain skripsi
bahkan menamai skripsinya dengan “skripshit”, aku malah menikmati menulis
skripsi dengan santainya bahkan dosen pembimbingnya way more extreme santainya
daripada aku. Setiap bimbingan cuma bilang “Ya saya baca dulu”, setelah di baca
“Ya silahkan lanjutkan, perhatikan susunan pengetikan, footnote sama huruf
kapital”. Sampai halaman terakhir beliau cuma bilang “Ya sudah beres”.
Setelah
penantian cukup lama akhirnya sidang skripsi juga. Sidang yang cukup ditakuti
mahasiswa tingkat akhir itu juga berjalan sangat mulus buat aku. Pertanyaannya
simple cuma sekitar kenapa begini, kenapa begitu, menurut anda bagaimana dst.
Sampai akhirnya saya resmi bergelar S.Sos dengan kalimat terakhir “Dengan
sangat terpaksa anda dapat nilai A, seandainya ada yang lebih dari itu atau A
plus pasti anda dapat nilai itu”. Ya berakhir dengan cukup indah.
Selanjutnya
dengan berdalih demi memperbaiki kualitas gizi dan kesehatan serta keinginan
untuk mempermudah hidup yang mulai kurang baik dari segi fisik dan mental
akhirnya aku pulang ke Samarinda. Dengan sangat terpaksa kabur dari kantor
meninggalkan rutinitas yang sebenarnya amat sangat aku cintai. Dan disinilah aku sekarang terperangkap di dalam rumah.
Kadang
perih juga rasanya waktu dengar kata-kata “Kamu kan gak punya teman!”. Ya harus
diakui di Jakarta aku (seperti) gak punya teman karena harus terdampar di ujung
Jakarta Selatan disaat orang-orang yang aku kenal semuanya tinggal di kawasan
Jakarta Utara dan Pusat. Boro-boro bisa hangout, ke kampus aja butuh 1,5 jam
naik motor. Ya semua demi menunjang kerjaan, apa daya punya kantor di Jakarta
Selatan dan harus on time.
Sampai di
Samarinda kembali gak punya teman. Aku lupa kalau teman-temanku itu masih anak
muda yang punya tanggung jawab besar untuk menyelesaikan kuliahnya dan punya
sambilan penting untuk membahagiakan pacar-pacarnya. Jadi hampir seluruh
waktunya di dedikasikan untuk kuliah dan pacar, kalau beruntung baru bisa di
sisihkan sedikit untuk nemenin aku. Paling juga yang sering datang si Leni
juragan kue yang selalu tiba-tiba datang jadi pemadam kelaparan dengan kue-kue
bikinannya. Mau ke tempat keluarga gak punya kendaraan. Dan kulitku terlalu
manja untuk mau bersenda gurau dengan panas teriknya matahari Samarinda yang
dekat dengan garis khatulistiwa ini.
I can’t believe this is happening.
Aku orang yang sejak SMP selalu menghabiskan hidup di luar rumah bahkan sampai
harus menerbangkan diri ke Amerika karena ambisi untuk tidak tinggal di rumah
terus-terusan dan akhirnya menemukan hidup yang keras tapi menyenangkan,
merantau hidup sendiri di Jakarta ini sekarang terperangkap di dalam rumah
selama berbulan-bulan. Rasanya 11-12 sama Edward Cullen yang keluar rumah cuma
kalau ada perlunya aja.
I’m getting bored, you know!
Dengan status sebagai pekerja
invisible antara ada dan tiada yang rasanya seperti freelancer karena gak
standby di kantor, gak dikasih tanggung jawab besar lagi, gak ikut rapat dsb.
Sedangkan aku orang yang paling gak bisa diam, lebih senang menguras otak dan
tenaga. Menghabiskan hari cuma sebagai blogger diri sendiri.
Dengan status married tapi malah
seperti jomblo karena long distance. Rasanya non sense, we are married but
seperated thousand miles away from each other. Apa bedanya sama teman-temanku
yang belum married dan masih jomblo -____-. Ditambah sekarang menanti due date
sambil masih mempertanyakan tentang masa depan.
Setelah ini mau apa? Mau ke Jakarta
untuk wisuda, lah terus gimana setelah itu? Mau ngapain?
I’m young and refuse to realize that
I’m getting older by situation. Aku masih merasa muda walaupun situasi menuntut
aku untuk bersikap lebih dewasa. Disaat para young-single and free di luar sana
sedang sibuk dengan paspor dan tiket liburan, aku sibuk belajar cara menjadi
orang yang terbaik untuk keluarga.
doc. Google |
Bingung masa depanku mau dibawa
kemana. Bukan cuma masa depan bahkan masa mudaku mau aku bawa kemana? Apa
setelah ini aku bakal kerja? Kerja apa? Balik ke kantor di Jakarta? Stay di
Samarinda? Cari kerjaan baru? Jadi PNS?
Atau setelah ini aku bakal stay
dirumah aja sampai waktu yang tidak bisa ditentukan kaya sepupu-sepupuku yang
lain? Atau menghabiskan masa mudaku jadi ibu rumah tangga? Belajar resep
terbaru, cuci baju, ngurus popok dan membiarkan semua urusan finansial jadi
tanggung jawab suami?
Terus gimana dengan impianku?
Ambisiku? Keinginanku untuk keliling dunia? Otakku dan segala pengetahuan yang
aku punya, apa bakal dibiarin nganggur gitu aja? Kehidupanku? Aku sama suami
apa bakal terus-terusan long distance begini?
Karina bilang kita gak bakalan bisa
dating lagi kaya dulu. Mamah bilang ya sabar aja kalau mau travelling tunggu
nanti anakmu udah SMP baru silahkan aja jalan-jalan toh gak ada yang perlu
diurus lagi. Lah kalo gitu masa mudaku dihabisin gitu aja dong, nunggu tua baru
bisa senang-senang? Kalau sudah tua mana ada yang mau nerima kerja, tapi kalau
kerja sekarang urusan rumah nanti kacau balau.
Semua pertanyaan-pertanyaan itu
terus saja menggantung di otakku. Setitik pun petunjuk atau bahkan inspirasi
untuk bisa melangkah ke arah mana lagi setelah ini gak keliatan.
Semua hal berjalan tanpa
direncanakan. Besar dorongan dari dalam diri untuk berfikir “Sudahlah gak usah
pusing-pusing dipikirkan biarin aja Allah swt yang ngatur semuanya, skenario
apapun itu jalani aja nanti mau diam dirumah atau kembali sibuk, mau menjalani
masa muda atau menggapainya pas udah tua nanti. Everything will be just fine”.
Tapi aku cuma manusia biasa yang butuh kejelasan, gak sabaran dan terlalu
berambisi atau bahkan terlalu iri dengan pencapaian orang lain.
Oh Allah swt just please help me to
calm my mind and live peacefully with whatever your plan is.
Aku tadinya sama kaya kamu, gimana nggk senewen ketika dapet beasiswa s2 keluar harus di pending sampai wktu nggak ditentukan krna punya anak, ya bisa sibawa tapi mau kasih makan apa? Aku juga terbiasa sibuk dengan organisasi, tapi jadi harus milah yang mana dijalani dan tidak, terbiasa punya duit dari usaha dan sekarang tinggal nadah dr suami, senua sulit. Tapi itu proses. Lama-lama aku cuma menanamkan dalam diri, ini pasti lewat. Aku nggak bilang nggak bisa senang-senang sepenuhnya, bisa koq titip ke mama, atau ubah pola pikir kalau main sama anak jg seru, masa muda kita lbh dari masa muda orang, harusnya suh agak bangga, karna "we are different" sekarang fokus jagain anak, krna masih akan brgantung sma kita slama 2 tahun, selebihnya kita kejar lagi cita-cita. Nggak kalah koq sama orang nanti ktila temen kita masih sibuk galau, kita mungkin udh jadi boss. Tenang vi, semua ada jalannya.
BalasHapus@Karryna
BalasHapusIyaa hahaha kita senasib terus :)) mungkin ini cuma masalah adaptasi aja, keadaan baru trus harus belajar lagi dari awal.Mudah-mudahan semua usaha kita worth it dan kita punya masa depan yang cerah juga. Aamiin.